Cinta itu lengkap dengan bahagia
dan luka. Jika kamu sudah siap dibahagiakan dengan cinta maka artinya kamu juga
harus siap terluka karena cinta. Itu yang pernah seseorang katakan padaku. Aku
pernah merasakan patah hati terhebat yang sampai sekarang cinta dan lukanya
masih membara dihatiku. Hanya saja mungkin api cinta itu perlahan akan padam
dikalahkan oleh api yang membara karena luka atau mungkin dikalahkan dengan air
murni yang akan memadamkan keduanya dari
arah lain.
Ingatan pernah dibahagiakan olehnya
akan lebih banyak diingat dari pada ingatan pernah dilukai olehnya. Bukan
karena apa dan mengapa, karena begitulah cinta akan selalu memaafkan tidak
peduli seberapa besar luka yang diberikan karenanya. Kita tidak akan pernah
bisa membencinya walaupun kita ingin. Karena kita akan lebih rela melupakan
luka yang pernah dia berikan daripada kehilangannya. Kalaupun kita sudah
terlanjur kehilangannya kita lebih ingin melihat dia bahagia dan ikut
berbahagia dengan kebahagiannya daripada membencinya. Cinta, tidak akan pernah
bisa membuatmu membenci apapun alasannya. Jika kamu merasa “pernah
mencintainya” dan nyatanya kamu sekarang berubah membencinya, itu bukan cinta
menurutku. Jika seperti itu maka ego lebih menguasaimu daripada cinta yang kamu
pikir pernah kalian miliki bersama. Cinta itu seperti kasih sayang orang tua
pada anaknya, tidak peduli seberapa nakal anaknya orang tua akan selalu
memaafkan, menerimanya kembali, dan tetap mencintainya. Hingga separah anaknya
memilih pergi dan tidak peduli dengan orangtuanya, mereka akan selalu mendoakan
keselamatan, kesehatan, kebahagiaan, dan kebaik-baiksajaanmu. Begitulah cinta.
Bukan tidak ada batas antara cinta dan benci. Bukan seperti itu. Cinta adalah
tentang penerimaan dengan setulus hati apapun yang ada pada dia yang kamu
cintai. Baik bahagia ataupun luka.
Pernah ada istilah mengatakan
“Time’s healing”. Nyatanya waktu tidak pernah menyembuhkan, waktu hanya membuat
kita sadar jika apa yang selama ini kita pikirkan tidak seperti kenyataan yang
kita hadapi. Waktu akhirnya membuat kita menerima, bahwa semua yang kamu
harapkan tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Waktu akan membuat mu mengerti,
bahwa dia akan tetap berjalan maju tidak peduli dengan apa yang terjadi karena
waktu tidak pernah kembali ataupun berhenti. Begitupun patah hati, waktu tidak
menyembuhkannya tetapi penerimaan, keikhlasan, dan pengertianlah yang
menyembuhkannya. Jadi bukan seberapa lama patah hati menetap di dadamu yang
menentukan kesembuhan dari luka yang kamu rasakan. Sekali lagi itu adalah penerimaan,
keikhlasan, dan pengertian. Tidak ada lagi pertanyaan yang terbesit “Mengapa
setelah sekian lama lukanya masih terasa?”. Karena kamu tidak pernah berusaha
menyembuhkannya, walaupun waktu berlalu begitu lamanya luka itu tidak akan
pernah sembuh atau justru semakin parah.
Patah hati tehebat mungkin
rasanya teramat sakit, bahkan kamu merasa ingin mati saja saat mengalaminya.
Tapi percayalah, kamu hanya harus melaluinya. Itu yang selalu ku katakan pada
diriku saat aku mengalami patah hati terhebat. Dan percayalah apa yang
menantimu di depan selalu jauh lebih baik dari apa yang telah kamu ikhlaskan.
Selalu.